BAGIAN KETUJUH: MANUSKRIP-MANUSKRIP PALSU BA’ALWI VERSI RUMAIL ABBAS
BAGIAN KETUJUH:
MANUSKRIP-MANUSKRIP PALSU BA’ALWI VERSI RUMAIL ABBAS
KATA PENGANTAR
Buku kecil yang ada di tangan pembaca ini, adalah buku yang menyajikan beberapa manuskrip yang ditampilkan Rumail Abbas dalam berbagai kesempatan terkait nasab Ba‘alwi. Manuskrip itu disajikan sebagai jawaban atas tesis penulis tentang keterputusan sejarah dan nasab Ba‘alwi yang tidak tereportase kitab nasab dan sejarah dari mulai abad ke-4 sampai ke-9 Hijriyah.
Untuk mempertahankan nasab Ba‘alwi, Rumail Abbas berusaha mencari mansukrip abad ke-5 sampai abad ke-9 Hijriyah. Namun tampaknya, usaha itu akan sia-sia. Algoritma dari historiografi abad ke-9 Hijriah di Yaman dan wilayah lain yang berkaitan dengan Ahmad bin Isa, mengunci berbagai kemungkinan tersambungnya keluarga Ba‘alwi kepada genealogi Ahmad bin Isa dan terus sampai Rasulullah. Dengan semua hal itu, Rumail Abbas mengklaim menemukan beberapa mansukrip yang dapat menolong nasab Ba‘alwi. Klaim penemuan manuskrip itu sebagiannya ditampilkan, dan sebagaiannya lagi hanya isinya yang berupa sanad-sanad hadits. Dalam buku ini penulis akan buktikan bahwa klaim-klaim Rumail itu tidak terbukti dan manuskrip-manuskrip yang katanya ditulis abad ke6 dan sekitarnya itu adalah manuksrip palsu, serta sanad-sanad hadits itu pun tertolak oleh disiplin Kritik Hadits.
Kresek, 16 September 2024
Imaduddin Utsman Al-Bantanie
BAB I PENDAHULUAN
Sebuah pristiwa di masa-lalu, bisa dikatakan
benar-benar pristiwa historis, bila dikonfirmasi oleh sumber sejarah sezaman,
atau paling tidak, sumber sejarah yang yang mendekatinya. Yang demikian itu,
adalah prosedur standar dalam ilmu sejarah. Nasab yang merupakan bagian dari
Ilmu Sejarah, ketika historiografinya diteliti maka prosedur dan metode yang
dipakai sama dengan prosedur dan metode sejarah.
Dalam Kitab Ushulu „Ilmi al Nasab Wa al-Mufadlalah Bain
al-Ansab Fuad bin Abduh bin Abil Gaits al-Jaizani dikatakan:
وعندما ت٨قق النسب فان ات١صادر التى يدكن ان
نستقي منها النسب يجب ان تكون من كتب الانساب القديدة التي كتبت فيما قبل العصر
اتٟديث حيث كان الناس اقرب الى معرفة اصوت٢م
―Ketika kita akan mentahqiq nasab maka referensi yang
memungkinkan kita mengambil darinya wajib berupa kitabkitab nasab terdahulu
yang ditulis sebelum masa modern, yaitu ketika manusia lebih dekat mengetahui
leluhur mereka‖ (h. 7677).
Sumber sejarah
terbagi menjadi sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primer adalah sumber
yang struktur aslinya berasal dari masa lampau, yaitu masa sezaman dengan objek
penelitian, seperti inskripsi (prasasti) yang dibuat oleh seorang raja.
Contohnya inskripsi Batu tulis di Bogor yang berangka tahun 1533 M, ia adalah
sumber primer untuk sosok raja Sri Baduga Maharaja. Prasasti ini telah
membuktikan Sribaduga Maharaja adalah sosok historis di tahun 1533 M. Sumber
primer memungkinkan peneliti untuk sedekat mungkin dengan peristiwa yang
sebenarnya terjadi selama peristiwa sejarah atau periode waktu tertentu.
Sejarawan mengerahkan kemampuan terbaiknya dalam menggunakan sumber-sumber
sejarah primer untuk memahami masa lalu dengan caranya sendiri, bukan melalui
lensa modern.
Selain
inskripsi, sumber primer bisa berupa koin, tembikar, dsb. Untuk zaman modern
ini, jika kita ingin dianggap tidak berdusta mengaku hadir pada pertandingan
final antara Brazil dan Italia tahun 1994, maka kita harus mempunyai bukti
primer akan hal itu. Bukti itu diantaranya adalah karcis masuk stadion Rose Bowl, California, Amerika Serikat.
Selain itu, dibuktikan dengan catatan eksternal dari stadion tersebut yang
mencatat nama-nama seluruh penonton. Jika kita ingin dipercaya hadir di
pertandingan tersebut, lalu kita tidak bisa menyuguhkan bukti apapun, lalu
berdasar apa orang lain harus mempercayainya?
Sumber
sejarah sekunder adalah sumber sejarah yang berupa buku yang menggambarkan
kejadian yang telah terjadi di masa lalu. Semakin dekat masanya dengan
peristiwa, maka ia semakin dapat dipercaya. Sumber sekunder biasanya menggunakan
sumber primer sebagai bukti, atau sumber sekunder lainnya yang paling dekat
dengan pristiwa. Sumber sekunder yang lebih jauh, substansinya harus memiliki
keterhubungan dengan sumber yang lebih dekat. urgensi sumber sekunder akan
hilang, jika berlawanan dengan sumber yang lebih dekat. Jika sumber yang jauh
berlawanan informasinya dengan sumber yang lebih dekat, namun sumber yang lebih
jauh ini memiliki bukti primer, maka sumber yang jauh harus didahulukan dari
sumber yang dekat yang bertentangan dengan sumber primer.
Nasab dan sejarah
Ba‘alwi yang diklaim sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW melalui Ahmad bin Isa
(w. 345 H.) tidak mempunyai bukti berupa sumber primer maupun sekunder sebelum
abad ke-9 H. Ahmad bin Isa yang hidup di abad ke-3 dan ke-4 Hijriah tercatat
dalam kitab-kitab hanya mempunyai anak tiga: Muhammad, Ali dan Husain,
sementara Ba‘alwi mengklaim mereka keturunan Ahmad bin Isa dari anak ke-4 yaitu
Abdullah atau Ubaidillah. Klaim ini muncul baru abad ke-9 Hijriah tanpa ada
bukti historis sama sekali di abad sebelumnya.
Rumail Abas
mencoba menelusuri kemungkinan ditemukannya bukti-bukti itu. Dalam beberapa
kesempatan ia menampilkan hasil penelusurannya yang akan penulis bahas dalam
bab selanjutnya.
BAB II MANUSKRIP-MANUSKRIP RUMAIL ABBAS
Manuskrip Hasan al-‘Allal (460 H.)
حذثىا
انحسه ته محمد انعلال قال حذثىاجذي أتأتُ انحسه عهعهً ته محمد ته أحمذ ته عٍسى
انعلال انعهُي تانثصزج قال حذثىا عمعمً عثذ الله ته أحمذ الأتح ته عٍسى انعهُي
وشٌٌم انٍٍمه قال حذثىا انحسٍٍه ته محمد ته عثٍذ ته انعسكزي تثغذاد قال حذثىا
اتاتُ جعفز محمد ته انحسٍه انذقاق قال اوثأوا انقاسم ته تشز قال اوثأوا ان نٍذ ته
مسهم قال حذثىا الا سعالاَسعً قال حذثىحذثىً عثذ انزحمه ته انقاسم قال حذثىَحذثىً
انقاسم ته
محمد عه عائشح
Inilah penampakan manuskrip yang katanya
ditemukan atau dibeli Rumail. Sanad itu menyebut nama Abdullah ―bin‖ Ahmad bin
Isa (ayah Alwi) yang katanya mendapat hadits dari Al-Husain bin Muhammad bin
Ubaid bin al-Askari. Manuskrip ini jelas ―manuskrip lucu-lucuan‖; ia manuskrip
―bodong‖ tanpa identitas. Tidak disebutkan diambil dari kitab apa, karya siapa,
ditulis tahun berapa, selama ini manuskrip itu ada di mana. Tetapi, nampaknya
ia potongan sana-sanad yang terdapat dalam kitab palsu Al-Arba‟un yang diatribusikan kepada Umar bin Sa‘ad al-Din
al-Dzifari (w. 667 H.).
Nanti di depan akan kita lihat, secara terang Rumail
menyebut beberapa sanad yang katanya di ambil dari kitab tersebut. Kitab
tersebut diduga kuat adalah kitab palsu yang ditulis tahun 1960-an Masehi oleh
Salim bin Jindan.
Setelah diteliti rangkaian sanad
itu adalah sanad cangkokan dari sanad asli yang terdapat dalam kitab Tarikh Bagdad. Perhatikan sanad
asli di bawah ini:
أخْبَ رنًَ علي بن تُ٤مَّد بن اتٟسن ات١الكي قال أنبأنً اتْٟسَتُْ بنُ تُ٤ مَّدِ بنِ عُبَ يْدٍ العَسْكَريُّ، قالَ نبأنً ت٤مّد بن اتٟستُ الدّقاق
نبأنً القاسم بن بشر قال نبأنً أبو العَباسِ
الوَليدُ بنُ مُسْلمٍ قالَ تَِٝعْتُ الأوزاعي
يقول حدّثتٍ عبد الرتٛن بن القَاسِمِ قالَ حَدَّثتٍِ القَاسِمُ بنُ تُ٤مَّدٍ عَنْ
عَائشَةَ زوجِ النبِيّ صَلى الَّلَُّ عَليْوِ وَسَلمَ قالتْ: «إذا
جَاوَزَ اتْ٠تانُ اتْ٠تَانَ؛ فَ قَدْ وجَبَ الغسْلُ » فَ عَلْتوُ أَنًَ وَالنبيُّ
صَلى الَّلَُّ عليو وسلّم وَسَلمَ فاغْتسَلْنا.
Sanad ini sanad asli terdapat
dalam kitab yang menjadi rujukan ahli hadits yaitu Tarikh Bagdad (Juz III h. 18). Lalu perhatikan sanad
cangkokan Gus Rumail di bawah ini:
حدثنا اتٟسن بن محمد العلال قال حدثناجدي أبو
اتٟسن علي بن محمد بن أتٛد بن عيسى العلال العلوي بالبصرة قال حدثنا عمي عبد الله
بن أتٛد الأبح بن عيسى العلوي نزيل اليمن قال
حدثنا اتٟستُ بن محمد بن عبيد بن العسكري
ببغداد قال حدثنا ابو جعفر محمد بن اتٟستُ
الدقاق قال انبأنً القاسم بن بشر قال انبأنً الوليد
بن مسلم قال حدثنا الاوزعي قال حدثتٍ عبد الرتٛن بن
القاسم
قال وحدثتٍ القاسم بن محمد عن عائشة
Dalam sanad asli yang terdapat dalam kitab Tarikh Bagdad,
Ibnu al-Askari mempunyai murid Ali bin Muhammad bin
Hasan alMaliki; dalam manuskrip Rumail, Ibnu al-Askari mempunyai murid
Abdullah (Ubaidillah) bin Ahmad ―bin‖ Isa. Mari kita
uji secara Ittisal al-Riwayat
(ketersambungan riwayat), yaitu dengan melihat kitabkitab Tarikh al-Ruwat (sejarah perawi) yang menyebut seorang tokoh perawi
berikut guru dan muridnya. Apakah Ali bin Muhammad bin
Hasan al-Maliki dan Abdullah (Ubaidillah) ―bin‖
Ahmad bin Isa terbukti keduanya sebagai murid Ibnu al-Askari?
Mari kita lihat kitab Tarikh Bagdad tentang sosok Al-Husan bin
Muhammad bin al-Askari.
اتْٟسَتُْ بن تُ٤مَّدِ بنِ عبيد بن أتْٛدَ بنِ
ت٥لد بن أبان أبو عَبْدِ الَّلَِّ الدَّقاق ات١عروف بابن العسكري …حَدَّثَ نا عنو
أبو القَاسِمِ الأزىري، وأبو تُ٤مَّد اتٞوىري، واتٟسن بن تُ٤مَّدٍ اتْ٠لالُ، وأتٛد
بن تُ٤مَّد العتيقي، وأبو الفرج بن برىان، والقاضي أبو العلاء الواسطي، وعبد
العزيز بن عَليّ الأزجي، وعلي بن تُ٤مَّدِ بنِ
اتْٟسَن ات١الكي، والقاضي أبو عَبْدِ
الَّلَِّ البيضاوي، وأتٛد بن عمَرَ بن روح النهرواني، وأبو القَاسِم التنوخي.
)تًريخ بغداد: جزء ٛ
ص .ٜ٘ٙ(
Dalam kitab Tarikh Bagdad karya al-Khatib al-Bagdadi itu, disebutkan bahwa
murid-murib Ibnul Askari adalah: Abul Qosim alAzhari, Abu Muhammad al-Jauhari,
Al-Hasan bin Muhammad al-
Khollal, Ahmad bin Muhammad al-Atiqi, Abul faraj bin
Burhan, AlQodi Abul Ala al-Wasiti, Abdul Aziz bin Ali al-Azji, Ali bin
Muhammad bin al-hasan al-Maliki, Al-Qodi Abu Abdillah
alBaidowi, Ahmad bin Umar al-Nahrawani, dan Abul Qosim al-Tanukhi (lihat kitab
Tarikh Bagdad juz delapan halaman 569).
Setelah kita verifikasi maka Ali
bin Muhammad bin al-Hasan al-Maliki terbukti sebagai murid Ibnu al-Askari,
sedangkan Abdullah tidak terbukti. Maka rangkaian sanad Rumail itu terbukti
sanad cangkokan atau sanad palsu.
Jelas sekali rangkaian sanad itu
sengaja diciptakan bukan untuk kepentingan periwayatan sebuah hadits, tetapi
lebih untuk kepentingan disebutnya nama Abdullah, untuk dijadikan bukti palsu
bahwa sosoknya betul-betul ada, bahkan meriwayatkan sebuah hadits. Sayangnya
creator sanad itu lupa, bahwa Ilmu Hadits lebih ketat dari ilmu nasab,
nama-nama perawi sudah terkodifikasi rapih ditulis dalam kitab-kitab Tarikh Ruwat (Sejarah Para Perawi).
Untuk mengkonfirmasi seorang perawi, apakah ia merupakan sosok historis atau
bukan (jangan-jangan ia sekedar nama yang sengaja disematkan tanpa ada
sosoknya) bisa dilihat dalam kitab-kitab Tarikh
Ruwat yang sudah ditulis sejak abad ke tiga Hijriah.
Perhatikan wafat Abdullah, ia disebut
wafat tahun 383 Hijriah, jika ia benar-benar seorang perawi, maka namanya akan
dikenal oleh para ahli ilmu di masanya, tempatnya akan banyak didatangi para
pencari hadits dari berbagai penjuru dunia, dengan itu seharusnya namanya telah
dicatat oleh kitab yang mencatat para perawi yang semasa dengannya atau yang
mendekatinya, semacam Ibnu Syahin yang wafat tahun 385 Hijriah, dua tahun
setelah wafatnya Abdullah, atau kitab Al-Dzahabi yang wafat tahun 748 Hijriah.
Dan tentu namanya pula akan dicatat oleh kitab nasab pada masanya seperti
AlUbaidili (w. 437 H.), tapi, nama Abdullah ini tidak dicatat dimanapun: tidak
di kitab nasab, tidak pula di kitab para perawi.
Manuskrip Umar bin Sa’ad al-Din al-Dzifari
Umar ibn Sa'd Al-Din Al-Dzafari (w. 667
H.), hidup di tahun 500-an, anak dari Sa'd Al-Din Al-Dzafari yang populer
dengan gelar Taj Al-Arifin, kata
Rumail, ia memproduksi dan menyalin kitab berjudul: Al-Arba'un, Al-Musnad li Al-Imam Muhammad ibn Ali AlFaqih Al-Alawi.
Umar ibn Sa'd Al- Din Al-Dzafari, kata Rumail lagi, mengompilasi 40 hadis yang
ia dapatkan dari Muhammad ibn Ali Faqih Muqoddam (w. 653 H.), dan beberapa
sanad menyebut nama "Shohib Mirbath".
Di bawah ini salah satu manuskrip
Rumail yang ditayangkan dalam presentasi diskusi di Rabitah Alwiyah Jakarta
(7/9/2024), naskah itu memuat sanad hadits Umar ibn Sa‘d al-din al-Dzifari yang,
menurut Rumail, ia dapatkan dari Muhammad Faqih Muqoddam, dan Faqih Muqoddam
mendapatkannya dari Abul Hasan Ali bin Muhammad bin Jadid.
Dalam manuskrip itu disebut bahwa Umar bin
Sa‘d mendapatkan hadits dari Muhammad bin Ali Faqih Muqoddam, dan Faqih
Muqoddam mendapatkannya dari Abul Hasan Ali bin Muhammad bin Jadid. Sanad ini
jelas sanad palsu, karena Abul Hasan Ali bin Jadid tidak mempunyai murid
bernama Muhammad bin Ali
Faqih Muqoddam. Dalam kitab Al-Suluk fi Thabaqat al-Ulama Wa alMuluk, Al-janadi (w.732 H.)
menyebut nama murid-murid Abul
Hasan Ali bin Muhammad bin Jadid, tetapi tidak ada
yang bernama Muhammad bin Ali Faqih Muqoddam. Adapun nama-nama murid Ali bin
Jadid yang disebut Al-Suluk adalah:
Muhammad bin Mas‘ud alSufali, Ibnu Nashir al-Himyari, Ahmad bin Muhammad
al-Junaid,
Hasan bin Rasyid, Muhammad bin Ibrahim al-Fasyali,
Umar bin Ali
Sahibu Baiti Husain. (Al-Suluk, juz 2, h. 136). Dalam
kitab Banu al-
Mu‟allim
al-jaba‟iyyun wa Banu al-Jadid al-Alawiyyun, Abu Umar menyebutkan sembilan
nama dari murid Ali bin Jadid, namun tidak juga disebutkan ia mempunyai murid
yang bernama Muhammad bin Ali Faqih Muqoddam (lihat h. 6). Jelas sekali
manuskrip yang memuat sanad-sanad Faqih Muqoddam di atas adalah sanad palsu.
Rumail menyebutkan bahwa tahun penulisan
manuskrip itu tahun 667 Hijriyah. Dilihat dari bentuk manuskripnya, ia sangat
tidak meyakinkan. Tinta biru seperti itu tidak lazim digunakan pada abad ke-7
Hijriah; kertas yang bergaris-garis semacam itu diproduksi sekitar tahun 1960
M. Selain dilihat dari isinya, dilihat dari media yang digunakan pun, manuskrip
ini jelas manuskrip palsu. Bentuk tulisan manuskrip ini sangat identic dengan
manuskrip kitab hadits tulisan Salim bin Jindan (w. 1969 H.). Perhatikan
potongan manuskrip yang terdapat dalam media online ―Jaringan Santri‖
(https://jaringansantri.com/manuskrip-ilmu-hadis-habib-salim-binjindan/)
yang memuat sebuah manuskrip kitab hadits karya Salim bin Jindan yang diberi
judul Riwayah bi al-Fi‟li di bawah
ini:
|
|
Dilihat dari bentuk tulisan dan
jenis kertas yang bergaris-garis yang biasa digunakan oleh Salim bin Jindan,
antara naskah Rumail dan naskah Salim bin Jindan identic. Naskah Rumail itu 99%
adalah tulisan tangan Salim bin Jindan yang wafat di Jakarta tahun 1969 M.
Lalu bagaimana pendapat ulama
Yaman tentang Salim bin Jindan? Doktor Muhammad Badzib dalam Akun Media Sosial
Saluran Telegram nya yang diposkan tanggal 16 Mei 2024 menyebutkan bahwa
kitab-kitab Syekh Salim bin Jindan “la
yuhtajju biha wala yu‟tamadu alaiha” (tidak dapat dijadikan dalil dan tidak
dapat dijadikan pegangan). Doktor Badzib mengutip pendapat Abdullah Alhabsyi
dalam kitabnya “Mashadir al fikri al
Islami fi al Yaman” bahwa kitab-kitab Salim bin Jindan adalah kitab yang
diambil dari
―ruang hampa‖.
Abdullah Muhammad Al-Habsyi
menyebut bahwa kitab-kitab Syekh Salim bin Jindan tidak baerfaidah dan dalam
kitab-kitab itu ada
“Mujazafah” (ucapan
kacau dan tanpa referensi); didalamnya pula ada “al-khaltu” (ucapan rusak dan igauan orang yang tidak sadar) (h.
558).
Selain Abdullah Al-Habsyi,
menurut Badzib, Sagaf Ali al-Kaf pun berpendapat yang sama, bahwa kitab-kitab
Syekh Salim bin Jindan dalam ilmu nasab penuh dengan “akadzibu la yu‟tamadu alaiha” (kedustaan dan tidak dapat dijadikan
pegangan).
Selain kedua ulama itu, masih
banyak ulama lain yang menilai kitab-kitab Syekh Salim bin Jindan dalam nasab
sebagai kitab-kitab yang tidak bermutu. Badzib menyebut juga seorang ulama yang
bernama Masyhur bin Hafidz yang menyatakan bahwa Syekh Salim bin Jindan adalah
seorang “hatibu lailin” (orang yang
berbicara dengan semua yang terlintas dalam benaknya). Dan seorang peneliti
bernama Ziyad al-Taklah dan Doktor Sa‘id Tulah keduanya mempunyai tulisan
tentang Salim bin Jindan dan khyalan-khayalannya dalam menciptakan sanad-sanad
hadis yang tidak berdasar.
Menurut Badzib, seorang professor
dan pengacara, Fu‘ad Tarabulsi, menceritakan kepadanya, bahwa nama-nama yang
disebut oleh Ibnu jindan dalam kitabnya-kitabnya banyak nama-nama fiktif “la wujuda laha” (tidak ada wujudnya).
Badzib menyebutkan contoh: Syekh Salim bin Jindan menyebut bahwa sebagian dari
guru-gurunya adalah seseorang yang disebut sebagai anak Al-Allamah Jamaluddin
al-Qasimi al-Dimisyqi. Orang ini sama sekali tidak pernah ada yang tahu sebagai
bagian dari keluarga Al-Qasimi. Keluarga Al Qasimi sendiri tidak
mengenalnya.
Syekh Salim bin Jindan pula,
menurut Badzib, memperlihatkan adanya kitab-kitab musnad keluarga Ba‘alwi dan
mengatakan bahwa kitab musnad itu manuskripnya terdapat di perpustakaan “Arif
Hikmat”.
Kitab-kitab musnad itu, menurut Ba‘dzib adalah kitab musnad palsu dan tanpa
dasar. Di perpustakaan “Arif Hikmat”
yang ia sebutkan itupun tidak ada. Bahkan, di seluruh perpustakaan yang ada di
atas muka bumi ini pun tidak ada, kecuali di rumah Salim bin Jindan, Kata
Badzib. Sepertinya, yang dimaksud oleh Badzib itu adalah kitab Musnad Faqih Muqoddam yang katanya
ditulis Umar bin Sa‘d al-Dzifari tersebut, yang manuskripnya ditampilkan Rumail
Abbas di Rabitah Alwiyah itu.
Yang dilakukan Syekh Salim bin
Jindan Itu, menurut Badzib, dijelaskan oleh teks langka yang terdapat dalam
surat pribadi Alwi bin
Taher al-Haddad kepada muridnya Profesor Ali Ba‘bud
yang menyatakan, bahwa Ibnu Jindan mengidap penyakit Malecholia: ia membayangkan hal-hal yang tidak ada, lalu menduga
keberadaannya, kemudian menulis imajinasi itu. Masyarakat yang tidak mengetahui
kondisi kesehatannya menerimanya begitu saja sebagai informasi yang dapat
dipercaya.
Sayangnya, menurut Badzib,
orang-orang yang mengutipnya tidak berusaha untuk mengkonfirmasi dari mana
sumber-sumber Syekh Salim bin Jindan ketika menulis kitabnya itu. Jika mereka
melihat lebih dekat, mereka akan menemukan bahwa dia mengutip dari
dokumen-dokumen palsu yang baru ditulis, yang ditulis orangorang fiktif.
Dalam akun Telegramnya itu pula,
Badzib memperlihatkan tulisan Aiman Al Habsyi tentang Salim Bin Jindan dengan
judul: Attahdir Min Ansab Ibni Jindan (peringatan
tenang nasab-nasab Ibni Jindan). Dalam tulisannya itu, Aiman diantaranya
menyatakan bahwa ia bertanya kepada pamannya, Abu Bakar bin Ali al-Masyhur,
tentang kitab-kitab Ibnu Jindan, lalu pamannya menyatakan bahwa ia bertanya
kepada Abdul Qadir Ahmad al-Saqaf, maka ia berkata: ―Salim bin Jindan orang
baik, tetapi pendapatnya dalam nasab dan sejarah tidak boleh menjadi pegangan‖.
Aiman al-Habsyi pada mulanya hendak
men-tahqiq kitab karya Syekh Salim bin Jindan yang berjudul “Al-Dur al-Yaqut”, ketika melihat di
dalamnya penuh dengan ―musibah besar‖, maka ia mengurungkan niyatnya. Bahkan,
menurut Aiman, dalam kitabnya tersebut nasab-nasab Ba‘alwi pun banyak ―musibah
besar‖. Berikut ini screenshot dari pernyataan Badzib:
Di bawah ini contoh lain dari
manuskrip palsu Rumail Abbas yang tampaknya juga berasal dari Salim bin Jindan.
Di bawah ini contoh rangkaian sanad palsu yang
pernah Rumail angkat tanpa menyebut dari sumber mana. Nampaknya ia juga berasal
dari kitab Al-Arba‘un tulisan Salim bin Jindan yang kemudian diatribusikan
sebagai karya Umar bin Sa‘ad:
قال الشيخ ات١سند عمر بن سعد الدين ات١لقب بتاج
العارفتُ بن على الظفارى( حدثنا الشريف محمد بن على الفقيو التًيدى قال حدثنا
الامام الزاىد سالم بن بصرى بن عبد الله بن بصرى ]العريضى/اتٟضرمى/العلوى[ قراءة
عليو فى منزلو تٔدينة ترنً ات١باركة فى ]…[ سنة
بقراءة القاضى محمد بن اتٛد بن عبد الله بن ابى اتٟب القرشٙيٚ قال حدثنا الشريف
المحدث الامام ابو محمد تٛزة بن محمد بن عبد الكٕرنً اتٟستٌ اليمانى قراءة عليو
وانً اتٝع تٔدينة تعز باليمن ]…[ ٕ٘ٙ قال حدثنا
Manuskrip Ijazah Kitab Sunan Turmudzi Tahun 589 H. Rumail
menampilkan sebuah manuskrip ijazah kitab Sunan
Turmudzi, mungkin maksud Rumail dengan adanya bukti manuskrip tersebut,
tokoh-tokoh Ba‘alwi sudah terbukti sebagai sosok historis karena telah
tereportase secara ontologis eksistensinya pada abad ke-6 Hijriah. Pernyataan
ini mengada-ada, karena tidak ada hubungannya antara keluarga Jadid dan
keluarga Abdurrahman Assegaf (kemudian mengatribusikan diri menjadi Ba‘alwi).
Keduanya adalah dua keluarga yang berbeda. Pengakuan bahwa Jadid adalah kakak
dari Alwi bin Ubaid itu baru ada sejak abad sembilan, sebelumnya nihil. Tidak
ada satu kitab pun di masa di mana Jadid itu diasumsikan hidup yang menyatakan
ia bersaudara dengan Alwi.
Syarif Abul Hasan Ali, yang
merupakan keturunan dari Jadid yang wafat tahun 620 Hijriah, tereportase oleh
kitab Al-Suluk sebagai ulama hadits.
Ia mempunyai istri anak dari Syekh Mudafi‘. Berbagai macam kota tempat
perpindahan Ali diceritakan oleh Al-Suluk,
tetapi tidak pernah ia disebut pernah datang ke Tarim. Seperti juga ia tidak
disebutkan dilahirkan di Tarim atau mempunyai adik bernama Alwi di sana. Rumail
tidak bisa berhujjah dengan kesejarahan Abul Hasan Ali untuk kesejarahan
keluarga Abdurrahman Assegaf karena keduanya tidak ada kaitan apapun.
Walau demikian ada baiknya kita
telaah manuskrip yang memuat ijazah kitab Sunan
Turmudzi dari keluarga Jadid ini:
Menurut Abu Umar Mazin bin ‗Amir al-Ma‘syani al-Dzifari al-
‗Ummani yang merestorasi manuskrip
ini pada 2 Dzulqo‘dah 1444 H., manuskrip ini adalah manuskrip Jami‟ Imam turmudzi yang terdapat di
―Maktabah Ra‘is al-Kitab‖ di Turki nomor 154. Penyalinnya memulai dari bab La yaqbalullah Sholatan Bighairi Thuhurin”
dari bab Thaharah sampai akhir kitab Al-Thibb dalam 15 juz, ditulis tahun 589
H. oleh penyalin Qasim bin Ahmad bin Abdullah al-Mu‘allim alJuba‘I. kemudian
ada catatan tambahan ijazah dari Abu Muhammad Hasan bin Rasyid bin Salim bin
Rasyid bin Hasan al-Hadrami alSakuni al-Umani (w.638 H.) kepada Syarif Muhammad
bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Jadid (anak Abul Hasan Ali bin Jadid [w. 620
H.] dengan tulisan yang lemah hampir tidak terbaca (h.3). Tulisan tambahan itu
tanpa titimangsa kemungkinan besar ditulis setelah tahun 620 H. setelah
direstorasi kemudian dapat dibaca seperti berikut: بسم
،ميحرلا نمحرلا هللا اتٟمد لله رب العات١تُ، وصلى الله على سيدنً
النبي الأمي، وعلى آلو وسلم، أما بعد: فقد قرأ على الفقيو
الأجل السيد الولي ... المحبوب في الله تعالى محمد بن علي بن محمد بن أتٛد بن جديد الشريف اتٟسيتٍ أحسن
حالو وت٘م
مالو "جامع أبي عيسى التًمذي "- الله
- تْق روايتي لو قراءة على والده الشيخ الإمام العالم، أبي اتٟسٕتُ علي بن محمد بن
أتٛد بن جديد الشريف اتٟسيتٍ )ت: )( ى ، ( - أحسن الله جزاءه وجعل اتٞنة مأواه -
تْق قراءٓتو عٙلىٜ الشيخ الفقيو الإمام أبي عبد الله محمد بن عبد الله ات٢روي ]ت:
)( ى (، عن الشيخ الإمام اتٟافظ ات١بارك بن علي بن اتٟسٔتُ بن الطباخ )ت: )( ى (،
عن الشيخ الأجل، عبد ات١لك الكروخي ]ت ٘ٗٛ
ى٘جٚر٘ي٘ة( ، عن ات١شيخة
Manuskrip itu ditulis oleh Qosim
bin Ahmad bin Abdullah dengan titimangsa 589 H. jadi titimangsa itu bukan
titimangsa ‗catatan tambahan‘ berupa ijazah yang menyebut nama Muhammad bin
Ali. Angka tahun itu merupakan angka tahun selesainya penulisan naskah, bukan
pengijajahan kitab kepada Muhammad bin Ali. Lihat perbedaan cara penulisan
antara isi kitab dan ijazah tersebut.
Perlu diperhatikan pula, antara waktu
selesainya penulisan dengan waktu pengkajian bisa saja berbeda. Namun jika kita
merujuk pada Al-Janadi, di mana ayah Muhammad, yaitu Ali wafat pada tahun 620 H
(abad ke tujuh), dalam Syamsu al-Dzahirah
tahun 630 H, maka dengan metode Ibnu Khaldun, di mana dalam setiap satu
abad terdapat tiga generasi, maka dapat diperkirakan wafatnya Muhammad bin Ali
adalah pada tahun 653 H, dari situ kita bisa perkirakan juga Muhammad ini
mendapat ijazah kitab Sunan Tirmidzi
antara rentang tahun 620-653 H. Bila dibagi dua diperkirakan mendapat ijazah
pada tahun 636 H, tentu ini lebih muda dari Al-Syajarah
al-Mubarokah yang ditulis tahun 597 H.
Catatan tambahan‘ tersebut bisa
menjadi dalil untuk keluarga Jadid, bahwa mereka dalam tahun 636 H itu adalah
tokoh historis, dari mulai nama Muhammad (w. 653 H) dan ayahnya, yaitu Ali (w.
620 H), namun tidak bisa menjadi dalil nasab mereka terhadap Abdullah, karena
yang disebutkan hanya 5 generasi. Mujiz
(pemberi ijazah) itu hanya menyambungkan sampai ke Jadid Tsani, butuh 4
generasi lagi untuk sampai ke Abdullah seperti yang disebut oleh Al-Janadi.
Setelah itu, perlu pula sumber yang menyebut Abdullah sebagai anak Ahmad.
Sementara ini, Al-Janadi (732 H) -lah orang yang pertama menyambungkan nasab
Bani Jadid kepada Ahmad bin Isa yang bertentangan dengan kitab yang lebih tua
yaitu Al-Syajarah alMubarokah (597
H). diperlukan pula sumber yang menyebut bahwa Jadid betul-betul saudara dari
Alwi bin Ubaid.
Catatan tambahan‘ tersebut,
ketika begitu lemah menjadi saksi nasab Jadid kepada Ahmad bin Isa, tentu akan
lebih lemah lagi menjadi saksi untuk keluarga Abdurrahman Assegaf atau Ba Alawi
Ubaidillah.
Kitab Tuhfat al-Murid Wa Uns al-Mustafid
Kata Rumail, Muhammad ibn Ali Bathahan
(w. 630 H.) memproduksi kitab berjudul Tuhfat
Al-Murid wa Uns Al-Mustafid fi Manaqib Al-Syaikh Sa'd Al-Din ibn Ali Al-Dzafari.
Kata Rumail lagi,
Kitab ini mengonfirmasi jaringan intelektual antara
Sa'd Al-Din AlDzafari dengan Muhammad ibn Ali Al-Alawi yang kelak, pada
deklarasi anaknya (Umar Al-'Abid ibn Sa'd Al-Din Al-Dzafari), ditulis sebagai
"Al-Faqih Al- Muqoddam".
Mungkin maksud Rumail dengan kalimat
―jaringan intelektual‖ itu, di dalam kitab itu disebutkan bahwa Faqih Muqoddam
menulis surat kepada Syaikh Sa‘d al-Din al-dzifari dan kemudian ia membalasnya,
sebagaimana informasi yang disebut literasi Ba‘alwi. Pertanyaannya: benarkah
Bathahan menulis kitab tersebut? Di mana kitabnya? Jika ada benarkah di
dalamnya ada surat menyurat antara
Faqih Muqoddam dan Syaikh Sa‘d? berita tentang kitab itu
hanya berasal dari pengakuan penulis-penulis Ba‘alwi seperti dalam kitab AlBurqat al-Musyiqat (h.99).
Salih al-Hamid Ba‘alwi (w.1386 H.) mengaku
pernah melihat manuskrip kitab itu (lihat Tarikh Hadrmaut juz II h. 824).
Menurut DR. Muhammad Yaslam Abd al-Nur, Salih al-Hamid mengaku pernah
melihatnya di Perpustakaan Husen bin Abdurrahman Bin Sahl, kemudian di bawa ke
Perpustakaan Al-Ahqaf Tarim, ditulis tahun 978 H. oleh Umar bin Ibrahim
Al-Hubani. Benarkah berita itu? DR. Muhamad Yaslam mengatakan, sekarang kitab
itu sudah hilang (lihat Footnote Tarikh
wa al-Muarrikhun al-Hadlarimah h.50).
Semua manuskrip penting eksternal
yang sezaman yang diklaim menyebut keluarga Ba‘alwi setelah dikutip kemudian
dinyatakan hilang. Bagi seorang peneliti ini adalah suatu pola yang
mencurigakan. Dan bagi penulis, kitab itu kemungkinan besar, jika pun pernah
ada, tidak pernah menyebut Faqih Muqaddam, itulah alasan kenapa manuskrip kitab
itu harus ―dilenyapkan‖.
Manuskrip Abul Qasim al-Naffath
Kata Rumail, Abu Al-Qasim An-Naffath (w.
<581 H.) memproduksi kitab yang mengompilasi 40 macam hadis dalam musnad
yang ia beri judul: Al-Arba'un. Dalam
beberapa riwayat, keduanya melewati Imam Ahmad Al-Muhajir yang disebut sebagai Nazil Al-Yaman (pendatang Yaman yang
menetap) dan gelar Al-
Abah.‖
Benarkah klaim Rumail itu?
perhatikan manuskrip Rumail yang telah penulis tampilakan sebelumnya:
Ini adalah rangkaian sanad yang
diduga kuat ditulis oleh Salim bin Jindan. Di dalamnya disebut pula bahwa Ahmad
al-Abah adalah “Nazil al Yaman” (yang
datang menetap di Yaman). Agaknya, klaim Rumail tentang ditemukannya manuskrip
Abul Qasim al-Naffat juga berasal dari tulisan Salim bin Jindan. Dan sudah
dijelaskan sebelumnya bahwa ulama-ulama Yaman menganggap apa yang ditulis oleh
Salim bin Jindan tentang nasab dan sanad “La
yuhtajju biha wa la yu‟tamadu alaiha” (tidak bisa dijadikan hujjah dan
tidak dapat dijadikan pegangan).
Sanad Muhammad Aqilah dan Manuskrip Assegaf
Kata Rumail, dalam kitab Al-Silk al- Durar fi A‟yan al-Qarn alTsani
Asyar karya Muhammad Khalil al-Muradi bin Ali al-Muradi (w.1206 H.) juz
ke-4 halaman 30, terdapat biografi seorang ulama bernama Muhammad Aqilah
(w.1150 H.). dalam kitab tersebut disebutkan bahwa ia mendapatkan talqin dzikir dari Abdullah bin Ali
Bahusain al-Saqqaf. Selain talqin dzikir,
Abdullah al-Saqqaf juga mengijazahkan kitab karya Ali bin Abdullah al-Idrus
yang tinggal di Surat India.
Kata Rumail, karena Muhammad
Aqilah ini orang yang tsiqah (bisa
dipercaya), maka gurunya juga yaitu Abdullah bin Ali Bahusain adalah orang tsiqah, oleh karena itu ketika dalam kitab
yang lain, Abdullah bin Ali al-Saqqaf ini menulis sebuah riwayat maka
riwayatnya terhitung tsiqah.
Contohnya, ketika Abdullah bin Ali dalam sebuah sanad hadits musalsal menyebut bahwa ia menerima
hadits dari ayahnya Ali, dari Ayahnya Abdullah, dari ayahnya Ahmad, dari
ayahnya Ali al Naqi, terus sampai Faqih Muqoddam, maka ini membuktikan sisi
factual dan historis dari Faqih Muqoddam.
Bagi Rumail, disebutnya nama
Faqih Muqodaam di tahun 1150 Hijriyah setelah 500 tahun dari kematiannya dalam
rangkaian sebuah sanad, dapat diterima dan menunjukan ia sosok historis walau
tanpa menggunakan metodologi kritik hadits. Rumail belum memahami bagaimana
metode para ahli hadits dalam meneliti sebuah rangkaian sanad untuk menentukan
apakah sebuah sanad itu muttasil atau tidak; ada individu perawi yang pendusta,
fasik, fiktif, atau tidak.
Berikut ini manuskrip hadist musalsal yang ditampilkan Rumail yang di
dalamnya menyebut nama Faqih Muqoddam:
Pertanyaan yang menggelitik
penulis adalah: Rumail belajar Ilmu Hadits dari mana, sehingga ia menyatakan
jika muridnya tsiqah maka gurunya
juga harus dihukumi tsiqah? Ini does not make sense (tidak masuk akal).
Dalam Ilmu Hadits ada yang disebut Ilmu Al-Jarh
wa al-Ta‟dil, yaitu ilmu yang mempelajari tentang apakah para perawi ini
laik dipercaya atau tidak. Setiap perawi dari sebuah sanad itu diteliti satu
persatu dari mulai awal sampai akhir. Jika ada salah seorang diantara mereka
yang terbukti dalam sejarah sebagai pendusta maka hadits itu menjadi dla‟if bahkan divonis maudlu (palsu). Ketika Muhammad Aqilah
divonis tsiqah (terpercaya), maka
tidak serta merta gurunya yang bernama Abdullah bin Ali al-Saqqaf langsung
dinyatakan tsiqah, ia perlu
penelitian tersendiri begitu pula susunan perawi selanjutnya.
Ketika diadakan penelitian sanad
dari mulai Abdullah bin Ali al-Saqqaf, kita mengetahui bahwa susunan sanad itu
sama dengan susunan nasab mereka. Seperti pernah penulis nyatakan dalam kitab
I‟anat al-Akhyar,
bahwa riwayat dari ulama Ba‘alwi terkait nasab dan sejarah mereka kedudukannya “muttaham bi al-kadzib” (patut diduga
berdusta), tidak dapat dipercaya, karena kontradiksi dengan kitabkitab sejarah
dan kitab-kitab nasab yang muktabar. Maka susunan sanad Abdullah bin Ali
al-Saqqaf sampai Faqih Muqoddam, berdasarkan susunan nasab mereka itu pun tidak
dapat dipercaya.
Rumail menyebut nama Muhammad Aqilah itu
hanya sebagai tangga untuk menyebut nama Abdullah bin Ali al-Saqqaf. Sebenarnya
Muhammad Aqilah tidak menyebut nama Faqih Muqoddam, yang menyebut Faqih
Muqoddam adalah Abdullah bin Ali al-Saqqaf. Nama Muhammad Aqilah sebagai ulama
yang terkenal disebut Rumail, agar nama Abdullah bin Ali al-Saqqaf itu ikut
terangkat.
Manuskrip Kitab Musnad Ubadillah al-Tamimi al-Iraqi
Kata Rumail, Ubaidillah ibn Thahir
Al-Tamimi (w. 488 H.) memproduksi kitab yang mengompilasi puluhan hadis dengan
judul Musnad Ubaidillah Al-Tamimi
Al-Iraqi. Kata Rumail lagi, di dalamnya terdapat sanad Hasan ibn Muhammad
Al-Allal. Hasan ibn Muhammad Al-Allal (w. <490 H.) memproduksi kitab musnad
berjudul Al-Arba'in yang berisi 40
macam hadis dari beragam isnad, dan
di antaranya disebutkan kekerabatan musnid
dengan kabilah Baalawi sebagai 'amm
(paman), ibn 'amm (sepupu), dan
setamsilnya.
Pernyataan Rumail ini pun sama dengan
sebelumnya, ingin mengaitkan sebuah nama terkenal dengan keluarga Ba‘alwi.
Ubaidillah al-Tamimi sama sekali tidak menyebut nama-nama keluarga Ba‘alwi,
yang ia sebut adalah Hasan bin Muhammad alAllal, cucu asli Ahmad bin Isa.
kemudian dibuatlah cerita bahwa
Hasan al-Allal ini menyebut nama-nama Ba‘alwi
sebagai paman, sepupu atau semacamnya, agar nampak benar ada kekerabatan antara
Hasan al-Allal dengan keluarga Ba‘alwi.
Pertanyaannya: mana manuskrip kitab Hasan al-Allal itu? benarkah ia ditulis
oleh Hasan alAllal? Atau ia hanya manuskrip palsu yang dibuat hari ini lalu
diatribusikan sebagai karya Hasan al-Allal? Jawabannya: ia adalah rangkaian
sanad yang diduga kuat ditulis oleh Salim bin Jindan bukan Hasan al-Allal.
Manuskrip Sanad Abdul Haq al-Isybili Ibnu al-Kharrath
Dalam komunitas youtube-nya Rumail
memuat beberapa sanad hadits yang menyebut nama Ubaidillah yang katanya
mendapat hadits dari bapaknya Ahmad al-Abah. Rangkaian sanad itu sebagai
berikut:
انبأنً عبد اتٟق بن عبد الرتٛن بن عبد الله بن
اتٟستُ بن سعيد ابو محمد الاشبلى قراءة عليو وانً اتٝع فى اخر المحرم سنة ٕ٘ٗ قال
حدثنا عبد العزيز بن … بن مديرة قراءة عليو ببغداد سنٗة قال حدثنا ابو العباس اتٛد بن دت٢ان ]…[ قراءة
عليو وانًٚ اٙتٗٝع قال حدثنا الامام ابو القاسم النفاط بن اتٟسن بن محمد بن على بن
محمد بن اتٛد الابح بن النقيب عيسى لقيتو تٔكة ات١كرمة بقرائتي عليو فى شوال سنة
قال حدثنا ابي ات١سند ابو محمد اتٟسن بن محمٔد العلال العلوٕىٕٔ قٗال حدثنا
ابي محمد بن على العلوى ]…[ حدثنا ابي وعمي عبيد الله ابنا اتٛد الابح بن عيسى
النقيب قالا حدثتٌ الامام الابح السيد اتٛد بن عيسى بن محمد العلوى البصرى فى
منزلنا بالبصرة فى ذى ]…[ قال حدثنا ابي وابو القاسم عبيد الله بن اتٛد بن محمد
الازرق العلوى قالا
Rangkaian sanad ini ditampilkan Rumail hanya
sepotong tanpa menyebut dari kitab apa ia mendapatkannya. Sepertinya, Rumail
kali ini tidak ingin seperti sebelumnya, di mana rangkaian sanadnya dapat
dilacak melalui nama-nama perawi popular. Perawi-perawi dalam sanad ini tidak
ada yang dikenal dan tidak disambungkan sampai sahabat Nabi, ia berhenti kepada
Ubaidillah bin Ahmad bin
Muhammad al-Azraq. Jelas sanad ini sanad
―jadi-jadian‖ yang tidak valid. Jika disambungkan sampai sahabat Nabi, ia dapat
terdeteksi ketersambungan atau tidaknya, karena nama para perawi hadits sejak
zaman sahabat sudah terkodifikasi dalam kitab-kitab Tarikh Ruwat.
Nampaknya, ia rangkaian sanad
yang didapatkan dari sumber yang sama dengan sanad palsu sebelumnya, yaitu dari
tulisan Salim bin Jindan. Dalam rangkaian sanad itu ada kalimat yang nampak
memaksakan yaitu disebutnya nama Ubaidillah sebagai paman dari Muhammad bin Ali
bin Ahmad bin Isa al-Abah. Sebagaimana diketahui bahwa nama Ali terkonfirmasi
dalam kitab Al-Syajarah alMubarakah
sebagai anak Ahmad bin Isa, nampaknya creator sanad itu ingin nama Ubaidillah
numpang tenar kepada Muhammad bin Ali.
Manuskrip Sanad Ali al-Syanini
قال الفقيو ابو اتٟسن على بن عبد الله الشنيتٍ
]…[ سنة قال المحدث الصوفى الفقيو عبد
الله بن محمد بن عبد الرتٛن بٔاعٙباٚد اتٟضرمى قال اخبرنً الشريف محمد بن على بن
محمد الفقيو ات١قدم العلوى قال حدثنا الامام اتٟافظ المحدث ابو اتٟسن على بن محمد
بن اتٛد بن جديد العريضى العلوى اجازة تّميع مسنده مكاتبة من ]…[ سنة قال حدثنا ابو عبد الله محمد بن عبد الرتٛن بن
مسعود بن أتٔٛدٙ بن اتٟستُ ات١سعودى الدمشقى قراءة عليو وانً اتٝع بدمشق فى ]…[
صفر سنة قال حدثنا ابو حفص عمر بن محمد بن
معمر بن طبرزد البغٛداٗدي٘…
Dalam sanad ini terdapat nama Muhammad
bin Ali Faqih Muqoddam yang katanya mendapat hadits dari Ali bin Muhammad bin
Ahmad bin Jadid. Jelas sanad ini palsu karena Ali bin Jadid dicatat para ulama
tidak mempunyai murid bernama Faqih Muqoddam. Selain ia rangkaian sanad bodong
yang tidak disebutkan dari manuskrip kitab apa, dari sisi ilmu riwayat sudah
terbukti ia palsu. Nampaknya seperti yang lain ia diambil dari tulisan Salim
bin Jindan.
Manuskrip Al-Thurfat al-Gharibat
Rumail menampilkan sebuah manuskrip karya Abul Abbas
Taqiyyuddin Ahmad bin Ali Al-Maqrizi (w.845 H.)
berjudul AlThurfat al-Gharibat Fi Akhbar
Wadi Hadramaut al-Ajibat. Menurut Rumail, naskah ini sebagai bukti bahwa
nama keluarga Ba‘alwi dikenal oleh ulama eksternal pada pertengahan abad ke-9
H. sebagai keturunan Nabi.
Sayang Rumail
tidak teliti, justru naskah ini malah memperkuat bahwa bahwa keluarga Ba‘alwi
pada sekitar tahun 845 H. itu masih dikenal sebagai ―Arab Hadramaut‖ bukan
sebagai sadat. Perhatikan salah satau
ibarat dalam naskah ini: واخبرني
الفقتَ ات١عتقد ابراىيم بن الشيخ عبد الرتٛن بن محمد ...العلوي من قبيلة يقال ت٢ا ابا علوي من عرب
حضرموت
―Telah menceritakan kepadaku Al-Faqir al-Mu‘taqid Ibrahim
bin Syekh Abdurrahman bin Muhammad al-Alawi dari kabilah yang disebut Aba Alwi
dari Arab Hadramaut…‖
Al-Maqrizi sebagai seorang sejarawan,
ketika mendapat pengakuan dari Ibrahim bin Abdurrahman Assegaf bahwa ia adalah
dari keluarga Aba Alwi, langsung mengetahui bahwa keluarga ini adalah keluarga
Arab Hadramaut, karena memang sejak abad ke-4 Hijriah telah dicatat dalam
kitab-kitab sejarah nama Bani Alwi sebagai keturunan Qahtan. Yang demikian itu
sebagaimana di tulis oleh AlHamadani (w.344 H.) dalam kitabnya Al-Iklil fi Akhbaril Yaman wa Ansabi Himyar
(kitab Al-Iklil memuat kisah-kisah Negara Yaman dan nasab Himyar) (h.36).
Penulis telah jelaskan dalam beberapa
tulisan bahwa pengakuan keluarga Abdurrahman Assegaf sebagaia bagian Aba Alwi
pun baru pada abad ke-9 H. Jelas sekali, keluarga Abdurrahman Assegaf bukanlah
keluarga Aba Alwi yang ditulis oleh kitab Al-Suluk
(732 H.) ketika menjelaskan silsilah seorang ulama bernama Syarif Abul Hasan
Ali bin Jadid. Pada abad ke-9 Hijriah keluarga Abdurrahman Assegaf mengokulasi
diri ke dalam bagian keluarga Aba Alwi. hal demikian diperkuat oleh hasil tes Y
DNA keturunan Abdurrahman Assegaf hari ini yang dikenal dengan nama keluarga
Ba‘alwi bahwa haplogroup mereka adalah ―G‖ yang menunjukan mereka bukan berasal
dari Arab.
Orang-orang Arab hari ini hasil tes Y DNA mereka
terkonfirmasi berhaplogroup J.
BAB III PENUTUP
Demikianlah manuskrip-manuskrip yang
diklaim oleh Rumail sebagai jawaban atas tesis penulis bahwa nama-nama keluarga
Ba‘alwi tidak tercatat sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW dari mulai abad ke-4
Hijriyah sampai ke-9 Hijriah, baik dalam kitab nasab maupun sejarah. Sayang apa
yang Rumail dapatkan ternyata hanya rangkaian sanad yang terbukti palsu, baik
dari sisi isi maupun media. Menurut penulis, melihat algoritma historiografi
yang tersebar di abad ke-8 dan ke-9 Hijriah, baik di Yaman maupun wilayah lain
yang terkait dengan Ahmad bin Isa, maka akan sangat sulit menemukan bukti-bukti
keterkaitan keluarga Ba‘alwi sebagai keturunan Nabi dari jalur Ahmad bin Isa.
kenapa? Karena memang keluarga Ba‘alwi bukanlah keturunan Nabi Muhammad SAW.
|
BIOGRAFI |
|
PENULIS |
|
|
Sejak Kecil ia berada di lingkungan Pesantren. Di
Kampungnya ada pesantren tua yang didirikan oleh Kiai Ahsan
Cempaka, kerabat dari ibundanya, Nyai Hajjah Syu‘arah.
Desa Kresek adalah ibu kota Kecamatan Kresek. Ia adalah sebuah desa yang kental
ke-NU-annya. Sejak tahun 1936 di Kresek sudah berdiri pengurusan NU tingkat
kecamatan yang dibentuk oleh K.H. Muhammad Amin, ayah K.H. Ma‘ruf Amin.
Pondok-pondok pesantren yang ada di sekitar
Kresek diantaranya adalah Pondok Pesantren Al-Falah,
Pondok Pesantren Manba‘ul Hikmah, Pondok Pesantren
Al-Ihsan Cempaka, Pondok Pesantren Al-Syarif, Pondok Pesantren Al-Hikmah Syekh
Cinding, Pondok Pesantren Subulussalam, Pondok Pesantren
Nahdlatul Ulum, Pondok Pesantren Al-Khairat, Pondok Pesantren Raden Kenyep, Pondok
Pesantren Al-Hijr, Pondok Pesantren Riyadul Jannah, Pondok Pesantren Al-Arobi,
Pondok Pesantren Lataksal, Pondok Pesantren Al-Amin, Pondok Pesantren Darul
Amin, Pondok Pesantren Darul Hikmah Syekh Ciliwulung, Pondok Pesantren Darul
Ulum, Pondok Pesantren Griya Tahfidz Cakung, Pondok Pesantren Fudaeli Cakung,
Pondok Pesantren Kiai Johan Cakung, Pondok Pesantren Rahmatuttayyibah dll.
Ia sejak kecil hidup bersama kakek dan
neneknya, H. Syam‘un dan Hajjah Aminah Mastumi, ayahnya, Syarmana bin Muhammad
Arsa dan ibunya, Nyai Hajjah Syu‘arah tidak panjang jodoh saat ia masih bayi.
Ibunya kemudian menikah dengan sepupunya K.H. Muhammad Syafi‘I bin K.H. Busyro.
Ayah sambung yang sekaligus kainya itu kemudian mengasuh pesantren Nahdaltul
Ulum bersamanya sampai ia wafat.
Ditinggal ayahnya mempunyai hikmah tersendiri baginya, karena kemudian keluarga
besar Bani Utsman Kresek (keluarga besar ibundanya) mencurahkan kasih sayang
lebih baginya. Sejak kecil ia dibimbing oleh paman-pamannya yang kebanyakan
merupakan ulama lulusan Tebu Ireng Jombang,
yaitu, KH. Mahfudz bin Muhammad dan KH. Syarif Jauhari bin Naib, KH.
Zainuddin bin Mustofa dan KH. Mahfudz bin Syatibi dll. Sejak kecil pula
mendapatkan sentuhan ruhani dari Syekh Astari bin Maulana Ishak seorang ulama
yang diyakini masyarakat sebagai seorang wali yang tinggal di Cakung, sekitar 1
kilo meter dari Kresek. Setiap hari Jum‘at pagi ia diminta neneknya untuk
berkunjung ke dan minta didoakan oleh Syekh Astari bersama sepupu-sepupunya.
Pada umur 7 tahun dititipkan di Madrasah Diniyah Al
Hikmah, 500 meter dari rumahnya, di bawah asuhan K.H. Nurzen dan KH. Rasihun
Fil Ilmi. Kiai yang disebut terakhir adalah
ulama lulusan Tebu Ireng juga. Di Madrasah itu ia mengaji dasar-dasar
ilmu agama seperti membaca Al Qur'an, Ilmu Khot, Imla, Insya, ilmu Nahwu, Kitab
al Jurmiyah dsb.
Pada umur 15 tahun ia memulai
pengembaraan ilmiah ke berbagai pondok pesantren diantaranya: Pondok Pesantren
Ashhabul Maimanah di Sampang, Kecamatan Tirtayasa, Kabupaten Serang, dibawah
asuhan KH. Muhammad Syanwani al-Bantani; Pondok Pesantren Riyadl al-Alfiyah di
Pandeglang di bawah asuhan KH. Sanja ; Pondok Pesantren Darul Hikmah Syekh
Ciliwulung di bawah asuhan KH. Mufti Asnawi, Cakung Carenang; Pondok Pesantren
AtThohiriyah di Kaloran, Kota Serang di bawah asuhan KH. Tubagus
Hasuri Bin Tohir; Pondok Pesantren Al-Hidayah di
Cisantri dibawah asuhan KH. Ahmad Bustomi; Pandeglang; Pondok Pesantren Cidahu
dibawah asuhan Abuya Dimyathi, Pandeglang; Pondok Pesantren Darul Falah, Rengas
Dengklok, Karawang dibawah asuhan KH. Obay Hasan Bashri; Pondok Pesantren
Al-Wardayani di Sukabumi di bawah asuhan KH. Badru; Pondok Pesantren Pertapan
di Binuang, Serang di bawah asuhan KH. Wasi bin Anwar ; Pondok Pesantren Gaga
di Kronjo di bawah asuhan Kiai Rafiuddin; Pondok Pesantren Buni Ayu di Balaraja
asuhan Kiai Rusydi; Pondok Pesantren APIK Kaliwungu Kendal Jawa-Tengah asuhan
Kiai Salahuddin Humaidullah, Ruwaq alAzhar di Iskandaria, Mesir dan beberapa
pesantren lainnya dalam pengajian pasaran. Ia mendapatkan sanad kitab-kitab
hadits dari Sayyid Muhammad bin Ibrahim bin Abdul Baits al-Kattani; ia juga
mendapatkan sanad Hadits Musalsal dari K.H. Zainal Muttaqin bin
Suhaimi al-Bantani murid Syekh Yasin al-Fadani
Seperti keluarganya yang lain,
sejak muda ia aktif di kepengurusan Nahdlatul Ulama; Tahun 2006-2011 ia
menjabat Ketua Majlis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama Kecamatan Kresek; Tahun 2018
menjabat Wakil Katib Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Provinsi Banten. Tahun
2020-2024 ia menjabat sebagai Ketua Rabithah Ma'ahid Islamiyah (RMI) Pengurus
Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Banten; Pengurus Lembaga Bahtsul Masail (LBM)
PBNU 2022-2024; Wakil Ketua Umum
Pimpinan Pusat Perjuangan
Walisongo Indonesia (PP-PWI). Ia juga mengemban amanah sebagai Ketua Komisi
Fatwa Majlis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Banten.
KH. Imaduddin Utsman Al Bantani banyak
menulis tulisan, baik dalam Bahasa Arab, Indonesia maupun Bahasa Jawa Banten.
Diantara kitab-kitab karya beliau adalah: Kitab Al-Fikrah alNahdliyyah fi Ushuli wa Furu'I ahl al Sunnah wa al Jama'ah
(Bahasa Arab: Fikih, Akidah dan ke-NU-an); Al-Syarah
al-Maimun fi Syarh al-Jawhar al-Maknun (Bahasa Arab: Ilmu Balagoh); Al-Ibanah fi Syarh Matan al-Rahbiyyah
(Bahasa Arab: Ilmu Waris); Al-Jalaliyah
fi al-Qowaid al-Fiqhiyyah (Bahasa Arab: Kaidah-Kaidah Fikih); Talkhis al-Hushul fi Syarh Nadzam al-Waraqat
fi Ilm al-Ushul (Bahasa Arab: Ushul Fikih); Al-Fath al-Munir fi Syarh Nadzam al-Tafsir li al-Syaikh al-Zamzami
(Bahasa Arab: Ilmu Tafsir); Nihayat
al-Maqshud fi Syarh Nadzam al-Maqshud (Bahasa Arab: Ilmu Shorof); Al-Anwar alBantaniyah fi Ikhtilaf Ulama al
Bashrah wa al-Kufah (Bahasa Arab: Ilmu Nahwu); Al-Burhan ila Tajwid al-Qur'an (Bahasa Arab: Ilmu Tajwid); Al-Ta'aruf lil Mubtadi'in li suluk
al-Tasawwuf (Bahasa Arab: Ilmu Tasawuf); Al-Nail al-Kamil fi Syarh Matn al-Awamil (Bahasa Arab: Ilmu Nahwu);
Al-Qawl al-Mufid fi Hukmi al-Mukabbir
al-Shaut fi al-Masajid (Bahasa Arab: Fikih Tentang Hukum Pembicara); Tuhfat al Nadzirin (Bahasa Jawa tulisan
pegon: Ilmu Mantiq); Fath al-Gafur fi
Abyat al Buhur (Bahasa Arab: Wazan syair arab); Al Manahij Al Shafiyyah Fi Syarhi Al Alfiyyah Lil Badi Wa Al Syadi fi
Al Arabiyyah; Al-Muktafi fi Syarh
Nihayat al-Zain; Fiqh al-Hadlarah;
Al-Shulthanah al-Mardliyyah; Buku
Induk Fikih Islam Nusantara (Bahasa Indonesia, Fikih).
Ia juga menulis banyak buku tentang terputusnya nasab
Ba‘alwi baik berbahasa Indoneisa maupun
Arab, diantaranya: AlMawahib
al-Laduniyyah fi Inqitha‟I Nasab Ba‟alwi bin Ubaidillah, Al-Ma‟arif
al-Rabbaniyyah fi Hifdz Nuthfah al-Nabawiyyah; I‟anat al-Akhyar fi Jawab
al-Syaikh Abdillah Mukhtar dll.
Pendidikan Formal yang ditempuh:
Sekolah Dasar Negeri (SDN) Kresek III; Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN)
Kresek; Madrasah Aliyah (MA) Ashhabul Maimanah di Kecamatan
Tirtayasa, Kabupaten Serang, Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Sultan
Maulana Hasanuddin Banten di Serang (sekarang UIN Banten, Sarjana Agama); dan
Institut Ilmu Al-Qur'an (IIQ) Jakarta (Magister Agama). Ia juga pernah kuliah
S3 di Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur‘an (PTIQ) namun tidak dilanjutkan.

Posting Komentar untuk " BAGIAN KETUJUH: MANUSKRIP-MANUSKRIP PALSU BA’ALWI VERSI RUMAIL ABBAS"
Terima kasih kunjungannya, silahkan beri komentar ...